Ketika Rindu Menyapa

on

Ketika ku merindukanmu, ku susun huruf banyak-banyak, melantunkan doa khusyuk-khusyuk, meneteskan airmata sering-sering, bahkan bisa tertawa pada dinding. Karena ku tidak dapat menemuimu, sesegera yang ku ingin.

Ketika ku merindukanmu, aku mudah tersenyum dalam tangisan. Mudah bicara dalam diam. Mudah-mudahan masih dalam kendali dan aman. Sehingga saat kita bertemuan, engkau masih mengenaliku.

Ketika ku merindukanmu, aku bisa saja menyapamu dengan suara lantang yang tidak akan pernah terdengar olehmu. Lalu aku senang dan bisa tenang. Sebab ku tidak menyusahkanmu dengan rinduku.

Rindu yang tidak pernah mampu ku sampaikan. Karena aku tidak mau engkau mengalami sebagaimana yang ku rasakan. Setidaknya, bukan melaluiku. Kecuali engkau yang juga mengalaminya, mengabarkan padaku tentang rindumu. Pada saat yang sama, aku bisa tergugu, pilu. Huhuu.

“Ayo bertemu, biar tak lagi rindu,” engkau menantangku.

Aku mengalihkan, “Tunggu… bukankah dengan bertemu, rindu semakin lengket dan sulit melerainya? Sebab pertemuan adalah jembatan dari satu rindu ke rindu berikutnya. Jadi, bagaimana kalau kita tidak usah bertemuan? Kecuali pertemuan untuk kebersamaan selamanya. Sehingga tidak perlu ada rindu setelahnya. Tidak perlu ada pertemuan saja, yaa.”

“Apa maksudmu bilang begitu? Bukankah itu berarti penolakan untuk pertemuan?,” engkau mulai berpikiran macam-macam.

Aku memandangmu sepenuh perhatian. Ku mencari dua bola mata kecilmu yang menenggelamkanku saat kita bertatapan.

Dua bola mata yang memejam, sesekali. Ia memejam saat engkau berpikir. Dan kemudian membukanya lagi setelah bertemu ide.

“Ehemm… Ngapain. Engkau memandangku seperti itu?” engkau menyelidiki.

Heheee, aku sedang asyik menghitung bulu matamu yang lentik, berapa jumlahnya? Saat engkau berdehem dan menjadi salah tingkah. Karena aku sudah terlalu lama memperhatikanmu. Sampai aku tidak menyadari, bahwa itu salah.

“Hah! Maaf yah, aku hanya lagi lelah,” aku bicara dalam hati. Sedangkan wajah berseri segera. Aku tersipu. Tersenyum, penuh makna.

Engkau mengangkat wajah seraya menarik nafas pelan. Engkau memejamkan mata, lagi. Lantas berdiri dan menghadap ke taman yang penuh bunga-bunga. Bunga-bunga aneka warna, dan engkau membersihkan tatapan dengan memandangnya.

Ku mengiringi langkahmu dengan tatapan. Engkau terus bergerak, mendekati taman. Lalu berjongkok di depan sekuntum bunga yang paling besar. Bunga mawar warna putih yang lagi mekar-mekarnya.

Engkau mendekatkan jemarimu ke arahnya, lalu membawa ke arah hidung. Menghirup wanginya, engkau lakukan kemudian. Hingga berdetik-detik lamanya. Aku tahu engkau suka harumnya.

Bunga tersenyum padamu, pasti. Karena ku lihat wajahmu juga tersenyum. Engkau membaginya bahagiamu melalui senyuman. Begitu pula dengan bunga di taman. Ia sangat suka, ada yang mengunjunginya. Apalagi memetik dan membawanya sepanjang perjalanan. Perjalanan yang ia tempuh tidak lagi sendirian. Karena bunga berperan sebagai peneman.

“Engkau suka berada di alam?,” ku sempat menanyakan padamu dalam kebersamaan kita.

Engkau tersenyum menawan. Hatiku tersenyum menyaksikan. Kini, senyumanku hadir untukmu, teman. Teman yang saat ini ku rindukan. Rindu padamu, seraya menghadirkan kenangan demi kenangan tentang kebersamaan kita.

Kita yang bertemu di perjalanan. Kita yang pernah bertemuan. Kita yang belum bersapaan, saat berpapasan. Rindu ada, untukmu. Bahkan kita yang belum pernah bertemuan.

Apalagi kita menjalani kebersamaan walau hanya beberapa jam? Apalagi yang membersamai seharian? Apalagi yang bersama-sama sepanjang kehidupan?

Semua berseliweran silih berganti memenuhi ruang ingatan. Di antaranya meleleh ke dalam menjadi bagian dari perasaan. Ada yang mengalir dalam nadi, juga menjadi bagian dari ekspresi pada wajah.

Sungguh kerinduan ini, berarti sangat. Sangat berarti. Sehingga aku tidak bisa hanya teringat dan mengingat siapapun yang ku rindukan. Kecuali segera bangkit dan bergerak. Meraih selembar kertas kosong dan alat tulis terbaik. Kemudian membersamai rindu dengan senyuman.

Tersenyum, untuk menyapa sesiapapun yang ku rindukan barusan. Menghadirkan diriku sepenuhnya pada beliau-beliau yang menjadi bagian dari kerinduan. Rindu yang hadir bukan tanpa alasan. Karena rindu tidak hadir kecuali dengan alasannya.

“Hai? Alasan apa lagi yang rindu sampaikan?,” engkau datang lagi.

Tetiba hadir di hadapanku, penuh keseriusan. Di wajahmu tiada senyuman. Engkau yang ku rindukan.

“Rindu tidak diam. Rindu menggerakkan. Rindu tidak membunuh. Rindu menghidupkan. Rindu adalah semangat. Rindu adalah teman. Temani rindumu dengan senyuman. Maka, siapapun yang engkau rindukan juga tersenyum membersamai rindunya padamu,” aku memberikan alasan.

“Ini sudah engkau buktikan?,” engkau melanjutkan tanya, bersama senyuman. Tentu. Aku tahu artinya menagih perhatian. Makanya engkau mesti menjadi perhatianku. Kalau engkau hanya diam tanpa senyuman, aku bisa mengabaikanmu dan sibuk dengan pikiranku saja. Ha!

“Sudah. Ini buktinya. Kehadiranmu tanpa ku panggil. Datang saja dan mengajukan tanya. Tanya yang ku jawab bersama senyuman. Engkau tersenyum pula, akhirnya. Padahal datang-datang serius amat. Ngapain juga datang lagi?,” ku berniat mencolek pipimu dua kali.

Engkau mengelak. Sebelum telunjukku sampai di pipimu. Engkau gesit bergerak. Sedangkan aku, sungguh kalah olehmu tentang ini. Makanya rinduku padamu terbit lagi. Setelah kita berjauhan seperti ini. Hiks.

***

Sungguh, indahnya berakraban dengan kerinduan. Kita bisa tersenyum padanya meski ia menanggapi dengan diam, tanpa berekspresi. Akan tetapi, diamnya sudah menandakan bahwa ia sedang mengajak kita bercengkerama di alam pikiran.

Berbicara dengan kerinduan dalam diam. Memetik pesan, hikmah dan kesan melalui tampilannya. Sekalipun hanya berpandangan dalam pikiran, bersalaman dengan perasaan, kerinduan sungguh berkesan, teman.

Kerinduan memesankan kita untuk tidak banyak bicara tanpa berkegiatan. Ia mengingatkan kita tentang berdamai dalam berbagai keadaan. Termasuk saat kerinduan hadir, temani ia dengan tenang. Agar sesiapapun yang kita rindukan juga dalam ketenangan.

Ketika rindu hadir, biarlah hanya pikiranmu yang sibuk. Biar hanya hatimu yang bicara. Sedangkan dirimu tetap terdata dalam geraknya yang sahaja.

Begini cara menyederhanakan rindu…. Begini cara melenturkan hati yang merindu. Ketika di dalamnya ada rindu, pikir menginginkan segera bertemu. Tapi, tidak bisa begitu. Hati perlu tahu yang raga tahu. Semua tidak semu. Raga di alam nyata sedangkan pikir bisa ke mana-mana semaunya. Jadi, tidak bisa secepat yang ia mau. Tidak.

Untuk bertemu? Harus mengatur waktu, menyusun rencana, menyamakan jadual terlebih dahulu.

“Haaaaah? Engga gitu. Aku pun pernah bertemu tanpa rencana denganmu. Pertemuan dalam ingatan, tapi, ihihiiihiiiiii…” engkau memotong tiba-tiba.

“Ini namanya takdir yang mempertemukan kita. Hahahaaa…,” aku tertawa?

Iya, baru saja.[]

😊😊😊

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ”... (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S Ar-Ra’d [13] : 28)