Ibu…

on

Pagi menjelang siang…

Tidak berbeda dari biasanya. Hari ini engkau sudah duduk manis lagi di sampingku. Engkau duduk di kursi yang ada sandaran dan tangannya. Kursi yang memang telah tersedia buat sesiapa saja.

Ya, siapa saja yang mau ngobrol dan bercerita denganku. Termasuk para tamu yang mau menunggu. Maka, duduknya ya, di kursi yang tersedia.

Kursinya ada tiga, sebenarnya.

Dua kursi mirip, serupa dan sama. Bentuknya kembar. Kursi kembar ini, ada tangan dan sandarannya. Salah satu dari kursi inilah yang engkau pilih. Kursi yang memang favorit bagi siapa saja yang datang. Makanya, suka ada saja yang mendudukinya.

Kursi yang satunya lagi, berbeda. Biasanya, sangat jarang ada yang mendudukinya. Kecuali jumlah tamu lebih dari dua orang, maka pilihan lain adalah duduk manis di kursi berbeda ini. Kursi yang tidak ada sandarannya, begitu pun tangannya.

Nah, kali ini, tidak ada sesiapa selain engkau, di sekitarku. Jadi, kita hanya berdua saja.

Engkau seorang, memang. Walaupun seorang adanya, namun dalam pandanganku, engkau adalah pribadi dengan sejuta pesona. Engkau adalah seorang yang ramah luar biasa. Sehingga tidak terlihat sedikit pun adanya keangkuhan apalagi merendahkan. Apakah saat berbicara, atau ketika memperhatikan sekitar dengan tatapan matamu.

Penampilanmu sungguh sangat sederhana. Walaupun aslinya, bisa terbilang berada dari segi materi. Namun engkau tidak bermewah-mewah. Begini yang terlihat dalam pandanganku.

Ah, lengkap sudah.

Sepanjang kebersamaan kita, aku sangat suka memperhatikanmu. Apakah gerak gerikmu, atau ekspresimu saat berbicara. Makanya, aku senang saja, berdekatan denganmu.

Aku suka saja, saat engkau sudah duduk manis lagi di sisiku. Yang berarti, ada lagi yang bisa engkau bagi padaku.

Bisa ku bilang, yaaa, adanya engkau, membawa aura tersendiri, bagiku. Terlepas dari adanya senyuman yang engkau bawa saat datang lagi atau senyuman itu tidak terlihat sama sekali, pada wajahmu. Namun, auramu tetap sama.

Baik tersenyum atau tidak, engkau membawa ‘sesuatu‘ yang masih saja ku pelajari dari waktu ke waktu. Termasuk hari ini. Dalam kebersamaan kita lagi, aku masih mempelajarimu.

Seperti biasanya, kehadiranmu di sisiku lagi adalah untuk berbagi. Engkau berbagi tentang apa saja, berupa cerita, nasihat, atau pengalaman melalui suara. Meski sepanjang kebersamaan kita, masih saja engkau yang lebih banyak bersuara, memang. Sedangkan aku, biasaaa. Engkau pun tahu. Paling senyum-senyum saja, sambil tidak henti membaca ekspresi pada wajahmu.

Wajah yang berubah-ubah ekspresinya. Terkadang mencerah, terkadang datar, sempat juga ku perhatikan wajahmu tanpa sinar sama sekali. Perubahan ekspresimu, bersesuaian dengan tema yang sedang engkau sampaikan padaku.

Iya, dari waktu ke waktu, ku mempelajarimu. Bagaimana bisa, engkau menjadi seperti ini adanya? Engkau yang senang berbagi, menasihati, walau tidak ku minta sama sekali. Engkau yang suka saja menyapaku, kemudian menyampaikan segenap isi hati. Seakan membaca yang ada dalam pikiranku. Seakan mengetahui hati ini yang bertanya-tanya. Seakan engkau mengetahui, apa yang ku mau.

Engkau adalah dirimu. Karena engkau bukan diriku. Engkau adalah diri yang lain, selain aku. Yah, sejak ku berada di sini, engkau adalah pahlawanku. Pahlawan yang berkorban mati-matian demi aku. Ha?

Engkau masih hidup, memang. Yang ku maksud di sini, bukan mati sungguhan, namun engkau bergigih-gigih membelaku, memudahkan urusanku denganmu, memberikan banyak kebaikan padaku, sampai ku merasakan betapa banyak jasamu padaku. Jasa-jasa yang tidak terlihat, namun terasa. Jasa yang engkau berikan sebagai dukungan moriil. Jasa yang mungkin tidak akan pernah terbalas, sampai kapanpun juga.

Siang menjelang sore…

Aku ingat padamu, kini. Setelah beberapa puluh menit yang lalu engkaupun pergi. Pergi, untuk meneruskan perjuanganmu, lagi. Berjuang di sana, di tempat yang juga sedang menantimu. Karena kehadiranmu ada yang mengharapkannya, di sana. Meski sebentar, walau hanya setor wajah, saja. Seperti yang engkau sampaikan dan suka ceritakan padaku. Mengapa?

Sebab sebelum ini, engkau adalah pejuang tangguh. Engkau telah mendedikasikan dirimu di sana, sejak lama. Sehingga, setelah berpuluh-puluh tahun kemudian, kehadiranmu masih dinanti. Untuk sekadar menambah tumbuhkan motivasi bagi sesiapapun yang sedang berjuang di sana. Apakah sekadar mendengarkan cerita-ceritamu pada beliau yang mengharapkan kehadiranmu, juga. Engkau yang berkontribusi banyak, pada mereka.

Engkau yang masih bisa ku tatap, mata, beberapa waktu lalu. Kehadiranmu untukku pun sangat bermakna. Engkau yang mendedikasikan juga beberapa jenak waktu bersamaku. Sebelum akhirnya jauh di mata. Buktinya, saat ini memang engkau sudah tiada dari sisi. Akan tetapi, segala yang engkau bagi, ku ingat sampai nanti. Engkau yang menjadi bagian di dalam kisah hidupku, selama di sini.

Dari hari ke hari, bersama ingatan pada pesan-pesanmu juga, aku bersedia bergerak lagi, melangkah dan bangkit. Tidak mengapa. Sebab, engkau telah mengisahkan padaku jauh-jauh hari, sebelum ini. Untuk melakukan sesuatu dengan sepenuh hati. Apabila tidak sudi, lebih baik tidak saja. Karena segala sesuatu setengah hati, akan menjadi tidak sempurna hasilnya. Namun, bila sungguh-sungguh, hasilnya lebih baik. Jarang terjadi kesalahan, karena melakukannya dengan suka dan senang.

“Sapaanmu pada hari-hari lalu, melalui ingatan padamu di masa datang, tepat saat kita tidak lagi bisa bertatap mata, aliran suaramu yang terdengar, menjadi sebentuk pengorbananmu, padaku. Engkau berjasa melalui suara-suaramu. Suara yang berisi banyak sekali pelajaran, untukku. Terima kasih ibu.”

***

Saat ku sedang asyik-asyik merangkai catatan menjelang sore, ini, ada yang datang. Kedatangannya, membuatku bertanya. “Lha, udah datang Pak, kok engga langsung pulang?”

“Iya, Ibu bilang biar nemeninmu. Nanti dicuri orang kalau dibiarin sendiri,” jawab beliau tanpa ekspresi. Sungguh lugunya, dengan polosnya. Aslinya sich becanda, si Bapaknya.

Mendengar jawaban beliau, aku tertawa pelan. Sedangkan beliau tersenyum saja. Senyuman yang beliau tepikan, agar tidak terlihat olehku. Senyum aja. Nah, benar, kan? Baiknya ibu kurang apa, coba, padaku. Kebaikan yang ku jadikan sebagai ingatan pada beliau lagi. Kelak, kami tidak lagi bersama, di sini, seperti ini.

Buat beliau, seorang ibu yang hingga hari ini menjadi bagian dari episode hidupku. Beliau yang sangat pengertian, dan sejauh ini tidak menyulitkan, malah memberikan banyak sekali wawasan tak terlupakan, serta kemudahan demi kemudahan. Makanya, dalam kesempatan beliau duduk manis di sisiku lagi, untuk berbicara, sedapat mungkin segera ku rekam dalam ingatan, pesan-pesan yang beliau sampaikan.

Lalu merangkainya menjadi catatan berupa senyuman, supaya tidak mudah terlupa. Untuk mengembalikan ingatanku pada beliau, lagi. Beliau yang dari jauh, terkadang masih saja sibuk menyapaku. Beliau yang sejak awal mengingatkan, dengan nada suara ramah, renyah dan bersahabat, “Bila ada yang kurang mengerti, tanya aja yaa, Yann.”

***

Ya, beliau adalah seorang ibu.  Walau beliau bukan ibuku, namun ku menyapa beliau dengan “Ibu…”. Dan setiap kali ingat dan melihat beliau, aku ingat ibuku.

Ibu yang rela berlelah payah untuk membahagiakanku. Ibu yang mudah saja mengalihkan kepentingan beliau, demi aku. Ibu yang bahkan tidak lagi peduli dengan diri beliau, demi aku. Ibu yang berjuang sepenuh kemauan, sesungguh kemampuan, demi aku. Ibu yang ku lirik sekilas, tanpa tatapan mata. Ketika beliau tidak ada di depanku. Namun, hadirnya ibu dalam ingatan ini ketika ku jauh dari beliau, adalah bukti bahwa beliau sangat berjasa padaku.

Ibu dengan segala pengalamannya tentang kehidupan. Ibu, dengan jasa-jasa beliau yang tidak terkatakan lagi, bagiku. Ibu, yang membuatku tersenyum.

Ya, saat mengingat satu kata, “Ibu…” aku bisa tersenyum, lebih mudah.

Seperti saat mengingat satu kata “Obrolin” yang lagi dan lagi, menyelenggarakan OMC. Aha!  Terima kasih atas inspirasinya, yaa. #Obrolin #OMC #YukMenulis

🙂 🙂 🙂

10 Comments Add yours

  1. tengkuputeh says:

    Setiap ibu adalah pahlawan bagi anak-anaknya. Selamat hari pahlawan 😍😍😍

    Liked by 1 person

    1. My Surya says:

      Iya, ibu, ibu, ibu… 🙂 Terima kasih, untuk segalanya…

      Like

  2. Mak…mak..maaaaak..jdi tmbah rindu awak jo amak…😐

    Liked by 1 person

    1. My Surya says:

      Wahai, sanak, anak amak, tetap semangat. Semangat yaak. 😀

      Like

      1. Ok..uni..tarimo kasih..

        Liked by 1 person

        1. My Surya says:

          iyo, samo-samo,. 🙂

          Like

  3. widiyawati89 says:

    😘😘😘😘😘😘😘

    Liked by 1 person

    1. My Surya says:

      Thank you 🙂

      Like

  4. widiyawati89 says:

    😍😍😍😍😍😍😍

    Liked by 1 person

    1. My Surya says:

      Tujuh pasang mata pinky. 😀

      Like

Leave a reply to My Surya Cancel reply