Biru Langit Hatiku

“Wahai Yang Maha Membolakbalikkan hati. Engkau Maha Tahu, kondisinya saat ini….”

***

Sebelum airmata terbit lagi. Begini saja, indah, yaa. Agar rasa terlepas, juga. Supaya menjadi bagian dari perjalanan diri. Setelah ia berlalu dan terukir menjadi kata. Meski saat merasakannya, benar-benar, terasa sangat, sangat terasa.

Rasa yang datang menggenggam hati, sangat kuat. Membuat hati tak bisa berkutik. Saat rasa yang mencengkeramnya, tidak ambil peduli lagi. Apakah di hati terasa sakit, perih, pedih, atau ada yang seakan menarik-nariknya. Degh! Ada yang aneh. Hehee.

Rasa yang semaunya datang dan pergi. Rasa yang bisa saja mencurahkan airmata di pipi dengan leluasa saat diri tidak mengenalinya. Rasa yang sulit mendatanya, karena tanpa rupa. Rasa yang tanpa wujud. Tidak terlihat, tidak terdengar, tidak sama sekali. Hanya terasa. Kecuali diri bersedia meluangkan waktu untuk merangkainya menjadi bait-bait puisi. Atau meruangkan hati agar bisa mengenalinya. Supaya terlihatlah ia, rasa yang terasa.

“Wahai, rasa yang bagaimana, ya? Sampai sebegitunya engkau memberi defenisi? Emang engkau saja yang merasai? Sedangkan selainmu tidak,” engkau bertanya-tanya.

~I Miss You!

***

Rasa rindu. Rindu yang datang lagi. Saat ku hampa dan tiada sesiapa di ruang hati. Maka rasa rindu mudah menjalarinya. Iya, engkau juga merasakannya, tentu. Bukan hanya aku, memang. Namun kini, saat ia melumer di ruang hatiku, ku tahu hanya aku yang memilikinya, sedangkan engkau, tidak. Karena engkau telah mewujud rindu-ku.

Ya, rinduku adalah engkau. Karena yang merindu adalah aku. Engkau yang berubah menjadi rindu, saat aku mengingatmu. Rindu yang terbit sesekali. Biasanya, saat hatiku sedang kosong. Kosong oleh apapun, tanpa penghias, hampa. Tidak seperti langit biru di atas sana, yang berlukiskan awan. Makanya, ku pandangi mereka, supaya rinduku melebar, lepas, lalu berubah menjadi senyuman yang terlukis indah di langit hati. Tepat, saat ku bersedia meluruhkannya melalui jemari. Seperti indahnya lukisan langit siang hari.

***

Hai, teman.

Kita lihat-lihat awan dan langit bermentari dulu, yuu. Aku lagi rindu, soalnya. Jadi, biru dech suasana hatiku, seperti langit biru itu. Berawan juga. Semoga tidak bermendung dan turun hujan.

Semoga, awan-awannya terkalahkan oleh terik sinar mentari yang menyengat. Agar, senyuman kembali menebar, secerah sinarnya. Iya, ku memandang awan dengan alasan mengalihkan perhatian dari kerinduan. Atau malah menjadi semakin rindu? Bisa engga, yaa? Rindu teralihkan dengan begini? Xixiii.

Menepis rindu memandang langit
Menepis rindu memandang langit
Selayang pandang, terbaca gurat-gurat kemilau melaluimu.
Selayang pandang, terbaca gurat-gurat kemilau melaluimu
Rengkuh impianmu, meskipun harus jatuh berkali-kali
Rengkuh impianmu, meskipun harus jatuh berkali-kali
Lepaskan, bebaskan, hingga tak lagi berat dan ringan selembut awan.jpg
Lepaskan, bebaskan, hingga tak lagi berat namun ringan selembut awan
Engkau dan aku seperti awan ini, kita serupa tapi tak sama
Engkau dan aku seperti awan kembar ini, kita serupa tapi tak sama

Mengapa rindu hadir? Karena jarak yang membentang. Bagaimana menepis rindu? Merangkainya menjadi kata? Berapa lama waktunya? Selama rindu masih terasa. Siapakah yang engkau rindu? Ya, engkau di sana.

Sesiapa saja yang tidak ada di hadapanku. Apakah rindumu berharga? Berharga sekali. Sebab dengan rindu, ku mengetahui engkau ada. Engkau yang tidak dapat ku tatap dengan dua mata, saat ingatan padamu menjelang segera. Ingatan yang berpindah dari ruang pikir, ke ruang hati. Ingatan yang mewujud rasa, saat engkau masih di sana, sedangkan aku di sini.

Aku, sedang duduk manis. Ketika ingatan menyeruak. Banyak, sungguh lebat, ramai, menggemuruh, memenuhi rongga kepala, menerpa-nerpa pikiran, meruntuhkan keheningannya, menyibukkan ketenangannya, mencubit-cubit ingatan, supaya ia tidak tenteram.

Ingatan yang masih saja ada, lama-lama mengaliri perasaan. Terjatuh di ruang hati, bug~! Menghempas di sana, akhirnya deg-degan. Sungguh, rindu tidak hadir tanpa alasan. Namun ia datang membawa sebuah pesan. Supaya raga segera bergerak. Hup!

Bergerak, berjalan, jangan berada di satu tempat, kawan. Supaya rindu tak meluruhkan bulir bening permata kehidupan. Agar rindumu berkesan. Supaya rindu tidak tertahan, namun mengajakmu bersamainya, sesiapapun yang engkau rindu.

Kalau orang yang engkau rindu ibarat awan yang putih-putih, berseri, menyejukkan pandangan, dan engkau yang merindu sebagai langit biru, maka tataplah birunya langit di atas sana, perhati putihnya awan di bawahnya. Sampaikan tatapanmu menujunya, meski jauh. Menengadahlah, walau pegal. Menujulah, mendekatlah, dengan sesiapa yang engkau rindu. Menujulah pada awanmu. Terbangkan dirimu mendekatinya, untuk membersamai.

Putihmu awan, teringat lagi. Rindu belum juga menepi. Bagaimana lagi? Aku tak mau menangisi. Hihii. Makanya, datang ke mari. Selangkah demi selangkah, merangkai menjadi ada. Sekedip dua kedip, menelusuri putihnya awan. Untuk menyapa lebih dekat, lebih lama

Sehingga kita bersapa, lebih dekat, lebih lama. Seperti mereka yang ku akrabi dengan tatapan mata, menyapanya tanpa suara. Semakin dekat, semakin lama, tapi kesannya sama saja. Masih rindu, adanya. Engkau yang bisa bercengkerama, bercerita, tentang rindu yang engkau rasa, juga. Melaluinya, kata-kata, tanpa suara.

Sekata dua kata, terbit juga. Selirik dua lirik terukir juga. Senyuman pun hadir. Karena akhirnya kita bertemu. Melalui suara jiwa, kita saling mendekat. Melalui rangkaian kata, kita berjabat. Dalam ingatan berikutnya, kita berakraban.

“Tolong doakan aku, yaa, sobat. Dalam setiap ingat. Agar kita lebih sering berdekatan, lalu bersama-sama menempuh waktu. Meski tak benar-benar dekat.,” ku tatap awan putih dan langit biru seraya menutur suara.

“Iya, insyaAllah, ku doakan yang terbaik untukmu, semoga engga betah di sana yaa, jadi balik lagi ke sini, hihiiii. 😀 ” sahutmu dari sana. Bersuara cerah, berceria ria. Ini kerjaan Teh Aci. Setelah terhubung denganku, lalu berkikikikikik bahagia. Karena apa? Akhirnya terhubung juga denganku. Setelah sepekan lamanya, mencari-cariku sampai ketemu. Ada-ada, ini idenya dari Ibu Widi. Untuk mencariku sampai ketemu, yang benar saja? 😀 

Hai, doanya ngapain mengharapku engga betah, begini? Xixixii. Ehiya, mau dong, kita bersama lagi, bersinergi lagi. Tersenyum, tertawa bahagia, meski sesekali terrepoti oleh deadline-deadline teli-teli yang mengesankan bagiku.

Sedangkan di sini, rinduku terus bergelayut. Rindu yang mengaku mau mengajakku tersedu. Tapi tak sanggup, aku membersamaimu dengannya. Aku ingin engkau masih bahagia, saat menyapaku. Maka, ku bersamai engkau, berceria dan berbahagia.

Engkau menyambutku dengan suara yang renyah, serenyah kerupuk yang terdengar kriuk di sana. Engkau yang sedang menyantap menu, masih saja sama. Semangatmu tetap sama. Engkau adalah teteh cantikku di sana, sang rembulan. Engkau bercahaya di hatiku, seketika. Sehingga, mana bisa ku nangis dalam sapa?

 

Yah, kita seperti langit dan awan yang ku pandangi siang hari. Berdekatan terlihat mata, saling memperindah tampilan di atas sana. Membuat mataku sejuk, meski hanya memandanginya. Begini juga keakraban kita yang ku damba, yang terlihat dari arah mana saja. Yang terperhati orang sesiapa saja, meski tak terduga.

Supaya mereka bisa berkaca, menjadikan keakraban kita sebagai cermin. Agar mereka juga tak lantas mengalirkan bulir bening permata kehidupan di pipi, saat rindu mencandai. Namun, hatinya merasa sejuk, sesejuk awan yang sudah berubah menjadi titik-titik air. Sesejuk semilir angin yang menepi di kulit ini.

Ketika rindu menyapa dan ku memilih memandang langit, untuk mengalihkan suasana hati. Agar ia tak lebam oleh cengkeraman rindu, namun melentur, memuai, mengubah diri menjadi senyuman.

Ya, menepis rindu dengan memandang langit, adalah sebuah kebahagiaan. Bahagia saja, rasanya. Apalagi saat melayangkan pandangan ke ujung arah tatap, terlihat awan gemawan beraneka bentuk. Seperti dua sayap tanpa raga, seperti gumpalan kapas, dan formasi-formasi yang unik.

Selayang pandang, terbaca gurat-gurat kemilau melaluinya. Kemilau dari sinar mentari yang memancar di sela-sela awan. Sinar mentari yang menyilaukan mata, ketika ku masih saja mau melirik-liriknya. Meski dari balik jemari, ku tersenyum dengan aktivitas ini. Senyuman yang tidak lagi bisa ku sebut senyuman. Lebih tepatnya menautkan alis dengan mata yang tidak lagi menatap semupurna. Seperti tidak rela, dengan pancaran sinarnya yang sangat cemerlang.

Memandang mentari seperti ini, mengingatkanku pada perjuangan. Ya, berjuang untuk menepis sinarnya dengan berusaha. Berusaha mengangkat tangan dan menempelkan jemari di kening. Berusaha mencari tempat-tempat teduh, namun masih leluasa memperhati mentari dari sana. Meskipun dari bawah atap.

Mengingatkanku pula pada perjalanan merengkuh impian yang terlanjur tinggi menggantung. Sehingga untuk merengkuhnya, sudah tidak semudah merangkainya, lagi. Karena sangat tingginya, begitu jauhnya. Meski demikian, bukan berarti tidak mungkin, bukan? Selagi masih berusaha, berjuang, meskipun harus jatuh berkali-kali, dan tidak menyerah. Maka, impian ada dalam genggaman, menjadi bagian dari keseharian. Ini mungkin, dengan keyakinan.

Bagaimana pun rasa yang hadir saat jatuh, bangkit lagi. Walau harus merindu berulang-ulang. Sekalipun menangis berlama-lama. Meskipun luka tidak terhitung.

Ingatlah, untuk tetap melangkah, lanjut berjuang. Seraya melepaskan aneka rasa, membebaskan pikiran, meluaskan cakrawala pandang. Hingga segala rindu, semua tangis, setiap luka, tak lagi berat namun ringan selembut awan.

Engkau dan aku seperti formasi awan yang kembar di atas. Kita serupa tapi tak sama. Kita terlihat dekat bagi yang melihat dari sana, namun berjarak sangat jauh dalam kenyataan. Selamanya, begitu. Jika saja kita tidak bersapa, bertukar suara, beraikan rasa, lalu saling menyelami lautan hari masing-masing, kemudian berjumpa, dech. Hehhee.

Akhirnya, kita tidak lagi seperti awan, namun berubah wujud menjadi tetesan hujan. Setelah sapa semakin sering, suara semakin ramai, rasa semakin berat, lautan rindu meluah, dan bertemu di daratan. Yah!

Di daratan, adalah pertemuan yang mengesankan. Dari pada pertemuan di angkasa, apalagi di dunia tak berwujud. Bagaimana pun, tatap mata ada maknanya, dibanding hanya rangkaian kata sebanyak apapun. Semua akan hampa, tiada. Begitu pun dengan suara yang saling kita pertukarkan dari kejauhan. Semua hanya sementara, lalu meletup lagi rasa rindu dalam hati, saat suara terhenti.

Makanya, pertemuan masih jadi pengobat rindu yang tidak terganti, bagiku, khususnya. Dalam hal ini, aku sangattttt rindu sekali, home sick tadi, sejak pagi. Rindu pun menerpa-nerpa hati. Rindu pertemuan dengan semua yang ku sayangi dan menyayangi. Rindu bersama meski hanya beberapa hari. Rindu berdua bercakap-cakap, bersantai di depan rumah dengan temanku. Rindu mencandai bahkan mengusili duo bocah imut yang sangat lucu iittuchh. Rindu, menempuh perjalanan panjang menujumu, walaupun melelahkan raga. Tapi, hatiku lega, setelah sampai di tujuan, dan kita bersapa, saling bertukar tatapan mata. Wahai, … Belum bisa, untuk saat ini.

Dalam rinduku, beliau yang merinduku pun menyapa.

“Kami di sini rinduuuuu sama Uni,” ungkapnya di sela senyuman yang tertahan. Dear Teh Aci, Teh Cantik, yang sempat bercakap hari ini. Engkau sudah mengurai rinduku pada semua, yang sempat mau meletup menjadi tetesan airmata. Terima kasih yaa, engkau juga rindu ternyata. Rindu yang kita bagi, menjadi bahagia di sana, dan bahagia ku di sini.

Nah, karena ku sangat rindu sekali, sebelum engkau menyapa, ku tatap saja langit biru di atas sana. Ku baca pesan cantik yang ia berai, melalui lukisan awan yang bertukar-tukar formasinya.

Ku sampaikan padanya, “Rindu itu adalah biru, laksana warnamu yang ku perhati, wahai langit yang luas membentang. Rindu ada di dalam hati, hati yang akhirnya membiru, setelah penuh oleh rindu. Rindu ini tidak bisa ku lukiskan, namun ku coba mengurainya. Semoga, dengan begini, aku bisa tersenyum lagi. Sekalipun rindu tidak bisa habis, setelah meluahkannya. Namun, semoga berkurang, meski sedikit dengan begini.”

Sedikit demi sedikit, awan-awan terus bergerak. Setelah sebelumnya berwarna putih, kini berubah menjadi kelabu. Wah, sudah lama juga ku memandanginya. Tidak terasa, sudah menjelang sore, malah.

***

Awan-awan yang tadinya bertumpuk-tumpuk, kini berganti menjadi tanpa bentuk dan rupa, membaur jadi satu. Tepat, saat ku asyik memandang langit, tetiba datang sebuah panggilan, “Haaii, Bundo, ada baca pesanku, gaa? Kita jalan-jalan, yuu.”

“Hai jugaaaaa. Iya, ada pesan masuk, cuma belum baca. Tadi hapenya dalam tas, ini baru aja dengar, hehee…. Okee, mari,” tanpa rasa bersalah, ku sampaikan saja yang sebenarnya. Bahwa memang, sejak tadi ku terpesona dengan awan-gemawan yang terus saja mencuri perhatianku. Hingga lama sekali. Sehingga ada pesan masuk pun ku tidak menyadarinya.

Pesan dari seseorang di sana, yang langganan menyapa dan mengajakku ke mana-mana. Termasuk hari ini. Ia lagi dan lagi membuyarkan semuanya. Huuwwa! Buyar sudah rindu yang ku berai menjadi kata. Buyar sudah menjadi tawa, menjadi senyuman, tanpa tersisa lagi. Rindu yang ku simpan rapi lagi, dalam lipatan ingatan.

***

Hari ini, meski dalam kerinduan, airmata ku sukses tidak tumpah. Karena ku mengangkat wajah lama-lama, menatap langit biru dan awan-gemawan. Ku tepikan rindu, ku susun sebuah catatan. Catatan cantik pada siang hari yang terik bermentari.

Catatan tentang rindu yang membuatku tidak mau memejam, namun semakin asyik menjadikannya sebagai kenangan antik. Antik? Apa sebab? Bukankah biasanya engkau menangis dalam rindumu? Rindu yang mengoyak-ngoyak ketegaranmu, keteguhanmu?

Iya, biasanya begitu. Namun, berubah boleh khan? Tentu saja dengan mengenali dulu, siapa kah yang ku rindu? Rindu biasa pada sesama, bisa saja tidak menitikkan airmata lagi. Saat ku ingat mengalirkannya menjadi ada dan terlihat. Rindu kepada-Nya, masih menitikkan airmata, dalam gelap dan gulita. Bisa. Saat terang dan benderang, bisa juga. Kapan saja.

Aku masih belajar mendata, menata, dan menempatkan rindu di lokasi yang terbaik. Supaya, rindu bermakna, tidak tersia.

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (Q.S Al Mulk [67] : 13)

🙂 🙂 🙂

14 Comments Add yours

    1. My Surya says:

      Thank you so much. 😊

      Like

      1. ceriaap says:

        urwelcome:)

        Liked by 1 person

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ”... (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S Ar-Ra’d [13] : 28)