Jadilah Aku, Sebentar Saja

Ini adalah tentang permintaan. Permintaan yang ku sampaikan padamu, tentang segala yang ku alami dalam hari-hari terakhir. Pengalaman yang mengajakku ingin menepikannya menjadi rangkaian senyuman juga. 

Ya, saat ini. Sebab ku sedang menghayati tentangnya. Pikirku juga masih sangat lengket dengannya. Sebelum meluntur oleh waktu, maka, ku jadikan sebagai catatan singkat. Catatan tentang permintaanku, untukmu.

“Jadilah aku sebentar saja, please.”

Mengapa?

Iya, supaya engkau juga dapat mengalami nuansa serupa dengan yang ku alami. Walau tidak sepenuhnya sama. Agar ku tidak mempengalamaninya sendiri saja. Agar ada sesiapapun di sana, yang juga menjadi aku, walau sebentar saja. 

Sebentar, koq, tidak lama-lama. Waktunya, selama membaca catatan ini saja, tidak mengapa. Selanjutnya, menjadilah dirimu kembali. Engkau sebagaimana adanya. Engkau dengan dirimu.

Ya, menjadilah aku sebentar saja. Agar engkau juga bisa menjalaninya.  Apakah engkau mampu bersabar dan masih mensenyumi? Apakah engkau tetap membahagiakan diri dan tersenangkan hati? Apakah engkau masih mau merangkai catatan lagi. Untuk menjadi pengingat diri?

Supaya kapan saja engkau kembali,  untuk menelusuri jejak perjalanan, engkau menjadi tahu. Dirimu pernah memikirkannya, menjalaninya, dan masanya adalah saat ini. Itupun kalau engkau mau meruangkan waktumu sebentar saja. Yak, saat engkau mengabulkan pintaku. 😀

Lalu bagaimana cara menjadi diriku sebentar saja?

Engkau seorang perempuan. Perempuan bersama dirinya yang begini adanya. Engkau duduk di samping seorang perempuan lainnya. Perempuan yang akhirnya menjadi inspirasimu. Perempuan dengan postur tubuh, tiga kali lipat dari dirimu. Yah, karena ragamu dan dirinya, berbeda demikian jelas. Ada banyak lemak pada tubuhnya, sedangkan engkau tidak sepertinya.

Menjadilah aku sebentar saja, dear me.

***

Engkau adalah seorang perempuan yang menjadi dirimu. Ketika itu, seseorang bilang, “Kamu kecil, duduk di sini saja yaa. Lalu engkau diselipin di sebuah tempat terpojok (emang kertas yaa, bisa nyelip). Karena tempat tersebut pantas untukmu. Lagi pula, tidak membutuhkan ruang luas untuk bisa menampung dirimu. Karena engkau adalah diri yang kecil, ramping dan baginya hanya perlu sedikit saja ruang untuk bisa eksis di mana-mana. Tanpa perlu ada yang terganggu oleh kehadiranmu. Sedangkan ruang yang lebih luas nan lapang, cocok untuk pemilik raga yang tiga kali lipat lebih berotot darimu. Apakah yang engkau pikirkan, teman?

Selanjutnya, sepanjang jam-jam berikutnya, engkau duduk sangat dekat dengan perempuan yang postur tubuhnya tiga kali lipat dirimu tersebut. Ia yang mudah saja nempel-nempel denganmu, bahkan sampai membuatmu semakin tidak nyaman saja. Seperti angka satu dan nol yang membentuk angka sepuluh, perbandinganmu dengannya.

Ah, engkau dengan kekuatan tulang-tulangmu yang sebegitunya, harus berjibaku dengan tubuh berotot, tidak sepantasnya bersaing denganmu. Namun, keadaan memintamu begitu. Sehingga, ia pun sesekali bersandar padamu. Engkau pun mulai kewalahan menghadapinya. Dalam kondisi begini, apakah yang engkau lakukan? Bagaimana menyikapinya?

Saat menjalani kondisi seperti uraian di atas, aku teringat merangkai sebuah paragraf begini, “Pada ragamu yang kecil, ku tidak akan bersandar. Juga pada jiwamu yang kuat ku tidak akan menopangkan tubuh lemah ini. Namun hanya kepada-Nya, ku sandarkan segala kelemahanku. Dengan begitu ku menemukan kekuatan baru dalam lelah dan himpitmu yang menyulitkanku bergerak. Karena Kekuatan-Nya ku masih sanggup menegakkan tubuh ringkih ini. Tubuh kecil yang lemah dan mudah baginya sempoyongan bila tidak segera bersandar kepada-Nya. Tubuh yang akan mudah rubuh bila ku tidak mengingat, bahwa ada yang senantiasa bersamaku. 

Sehingga kapanpun ku membutuhkan pertolongan, kekuatan, atau ketika ku merasa baik-baik saja, Dia ada.”

​Kondisiku ketika itu lebih kurang, seperti menjalani hidup ini. Terkadang kita merasa tersulitkan oleh perlakuan seseorang hingga membuat kita tidak bisa ngapa-ngapain? Bahkan sampai tahap ingin meluahkan segenap dentum yang berkecamuk di sudut hati untuk kita keluarkan? Namun semua urung, dengan mengembalikan ingatan kepada-Nya.

***

Lalu, ada lagi.

Menjadilah aku sebentar saja.

Sebentar saja, menjadilah aku juga. Aku yang sedang meneruskan perjalanan. Awalnya sendirian. Dan kemudian, dalam perjalanan bertemu dengan seorang yang melakukan perjalanannya juga. 

Ia adalah seorang perempuan, sama sepertiku. Karena baru bertemu, kami pun bersapa dan berkenalan. Perkenalan singkat yang membuatku tidak mau tidak, menanyakan namanya. Siapakah ia, seorang yang ada di dekatku? Kami yang duduk bersebelahan. Aku di kanan, sedangkan ia di kiri.

Pertemuan di perjalanan yang membuatku tersenyum ringan. Seringan senyuman yang ia ukir pada wajahnya. Senyuman damai, tenang dan teduh. Lalu, pada menit-menit kebersamaan berikutnya, kami berbincang-bincang. Perbincangan yang kami lakukan dengan suara pelan. Karena ada banyak orang di sekitar. Dan kami menjadi tidak nyaman bila harus berekspresi sampai cengengesan. Apalagi tertawa bahagia karena senang bertemu teman di perjalanan. Ketika kami sama-sama sendiri, awalnya.

Ia adalah teman yang mengingatkanku untuk mendata suara. Ia mengajarkanku juga untuk menata ekspresi. Terlihat dari teladan yang ia beri. Dengan tidak banyak bersuara, dalam perbincangan dengan seseorang yang bertanya padanya. Ia terkadang menanggapi datar atas sebuah kelakar yang menurutnya, “Apasih”.
Saat ku membaca dari sikapnya. Perempuan yang duduk di sisi kiriku, seakan menjadi cermin bagiku. Untuk tenang, tetap damai dan pasang wajah tak berekspresi. Ai! Kalau aku, mana bisa?

Aku, masih saja sibuk dengan pikiranku. Ketika ada sapa dan tanya juga sampai padaku. Semua memang ku tanggapi dengan senyuman demi senyuman. Senyuman di dalam hati. Saat wajahku tidak sepenuhnya berekspresi. Tetapi, saat engkau memperhati sorot mataku, di sana ada suara yang ia sampaikan. Ia sedang berbicara. Menyampaikan suara-suara yang ingin ku jadikan sebagai jawaban atas tanya dan sapa yang menghampiri diri.

Sekalipun diam, di dalam hatiku bertanya-tanya. Meskipun ku tidak bicara, di dalam pikiranku menyusun kata-kata. Sehingga, terbawa-bawa sepanjang perjalanan yang kami habiskan beberapa jam. Termasuk saat ini, di sini. Ingatanku adalah tentang perjalanan kami. Perjalanan yang ku pinta, jadilah aku sebentar saja. Setidaknya saat ini. Kalau engkau menempuh perjalanan serupa, dengan kondisi yang ku alami, bagaimana engkau menjalaninya? Apakah perjalanan tersebut engkau biarkan berlalu begitu saja, tanpa memetik makna dan juga pesan di dalamnya?

Aku terpesona, terkesima, terkagum, lalu bilang, “Alhamdulillah, ia ada menjadi pengingat. Maka, ku menjaganya senantiasa dalam perjalanan hidupku dengan merangkai tentangnya dalam sebuah catatanku. Agar, suatu waktu kami bisa bersama lagi, atau bersama dengan orang-orang sepertinya. Walau pun nama-nama mereka tidak sama dengan namanya. Namun, cukup kebersamaan dan pertemuan kami yang tidak terduga, menjadi penanda, bahwa orang-orang sepertinya ada di sekitarku, dekat, dan dapat menjadi teman dudukku untuk masa-masa selanjutnya.

Meskipun saat ini, aku dan dia berjarak raga. Ku rangkai tentangnya, sebagai pengingatku lagi padanya. Ketika dalam kesempatan berikutnya, ku bertemu orang-orang sepertinya. Aku mau, membersamai mereka sebagaimana ia membersamaiku, meneladankan padaku tentang sikap, ucap dan juga ekspresi. Ia yang lembut bicara, halus pekerti, dan memberi kelonggaran padaku, saat kami duduk bersama. Sehingga, dalam kesempitan terasa kelapangan.

***

Menjadilah aku sebentar saja. Berikutnya adalah, anggap saja engkau berada di rumahmu. Rumah yang engkau kunjungi lagi, setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pergi. Kepergianmu bisa menjemput ilmu, atau memungut pengalaman sepanjang jauh dari rumah. Dan sudah tiba lagi waktunya, engkau akan kembali berangkat. Nah, lha, sejenak sebelum engkau berangkat, salah seorang anggota keluarga di rumahmu, membawa setumpuk kertas-kertas tidak terlalu tebal dan juga tipis. Kertas rapi yang sudah bercetak tersebut, ternyata lembaran undangan. Undangan pernikahan. Ah, bagaimana perasaanmu, teman?

Engkau tidak menyangka, di ujung keberadaanmu di rumah, ada yang mengingatkanmu pada sebuah momen. Momen menjelang hari pernikahan. Momen yang sebelum-sebelum ini memang ada dalam ingatanmu. Lalu, sempat berlalu dari pikiran. Dan pada akhirnya, engkau teringat lagi tentangnya, tepat saat melihat lembaran tersebut.

Engkau terkejut luar biasa. Engkau bertanya-tanya. Apakah semua-itu ada hubungannya denganmu? Ah, tidak mungkin. Karena sejauh ini engkau tidak membahasnya. Lalu, bagaimana bisa, lembaran tersebut ada di rumahku? Ini tentang siapa? Masih bisakah engkau tertawa? Menertawakan inspirasi cantik ini? Inspirasi yang menjadi bagian dari waktu-waktumu di rumah. Inspirasi yang semoga, mendekatkanmu juga pada momen tersebut, bila engkau belum mengalaminya.
Dan inspirasi tersebut, mengembalikan ingatanmu pada momen tersebut, bila engkau telah mengalaminya. Maka, menjadilah ia nostalgia tentang hari-bahagia yang tidak terlupa.

Masihkah bisa, engkau tetiba ingat untuk mengabadikannya menjadi sebentuk catatan, lalu berdoa, “Ya, Allah, bila tiba masaku, nama-nama yang tertulis di dalam undangan tersebut adalah anggota keluargaku dan keluarga baruku. Termasuk namaku.

Selanjutnya, terbersit dalam ingatanmu, tentang catatan yang engkau tulis beberapa waktu sebelum ini. Catatan tentang semusim lagi kita bersama, tulismu. Catatan yang engkau jadikan sebagai sebuah pengingat diri juga. Agar engkau tidak terlupa, setelah semusim ke depan berlalu, engkau bisa membacanya lagi. Lalu, bagaimana engkau menanggapinya? Masihkah bisa engkau tersenyum? Lalu meneruskan perjalanan dan merangkai catatan lagi? 

Tentang bahagia yang engkau damba, tentang bahagia yang engkau jalani menempuh masa? Termasuk semusim yang ternyata sudah berlalu. 

Musim berganti, dan engkau masih bisa di sini, ternyata. Engkau masih ada, untuk meneruskan langkah-langkahmu, melanjutkan perjalanan pikir, bersama sekeping hati membersamai. Sedangkan wajahmu, sumringah memberai cerah. Ia yakin, setiap keadaan ada hikmah.

Lalu, hikmah apakah yang engkau petik? Seperti apa engkau menyusunnya menjadi bagian dari perjalananmu? Masih sanggupkah engkau sedikit menertawai yang ada, menyadari ternyata di dalam undangan pernikahan tersebut, terselip namamu. Meski hanya sepotong kecil. Lalu mereka mengajakmu bersenyuman.

Aha! Engkau bahagia, berbunga-bunga, turut ceria membacanya lagi. Tidak percaya, seakan ini hanya mimpi. Mimpi yang mengajakmu mengurai suara akhirnya. Karena tidak menyangka, semudah itu kenyataan memberimu untaian benang-benang hikmah. 

Ia tidak akan terlihat, bila engkau tidak jeli dan teliti. Ia tidak akan menginspirasi, jika saja engkau sudah tidak ada di sana lagi, di rumahmu. Engkau tidak akan teringat tentang semusim yang ternyata telah berlalu, bila saja engkau tidak pulang kampung sejenak. Ha!

Lihatlah, teman. Semusim memang telah berlalu. Dan musim berikutnya masih ada. Berarti, masih ada harapan untuk berada di sini sepanjang waktu selama semusim ke depan. Berikutnya,
engkau kembali pulang setelah semusim berlalu, kisah tentang apakah yang akan menjadi inspirasi?

Musim ke musim yang engkau jadikan sebagai jalan merangkai senyuman lagi, sebagai upaya untuk mensyukuri hingga ke detik waktumu.

Karena momen tertentu tidak terjadi berulang kali. Namun sekali saja, itulah detik ini. Lalu, engkau membawanya menjadi teman dalam perjalanan, sebagai pengingat diri.

Hingga pada suatu hari, namamu lengkap tertulis rapi, tidak lagi potongan kecil. Potongan kecil yang sudah membuatmu bahagia, sesungguh hati, sampai menjadikannya bagian dari perjalanan diri, seperti ini. Lalu, sebahagia apa saat engkau pun menjalani? Semoga bahagia yang tertata dan mengajakmu masih mau tersenyum, yaa. Seperti ini. Senyuman sebagai afirmasi, semua ada waktunya.

Masing-masing catatan perjalanan kita sudah tertulis rapi. Hanya saja, kembalinya kita lagi saat ini, dalam rangka mengingat-ingatkan diri. Bahwa kita pernah begini dan begini.

Saat membacanya, sungguh. Sungguh sangat rapi alur dan skema yang Allah atur. Menjadi senyuman yang tiada pernah usang, namun berseri-seri sepanjang hari. Indahnya skenario Ilahi untuk engkau jalani. Maka, menghayati waktu detik ke detik, ini lebih menyenangkan apalagi saat mengenangnya.

***

Lagi?

Menjadilah aku sebentar saja.

Engkau duduk di sini, sebagai aku. Mengerjakan yang biasa ku lakukan. Engkau menjadi seorang yang mempunyai waktu dan kemauan serta kemampuan menggantikanku. Engkau menghubungi orang-orang yang biasa ku hubungi. Namun bagimu adalah untuk pertama kali. Engkau menghadapi seseorang yang sering ku hadapi, hampir setiap hari. Namun bagimu adalah untuk pertama kali.

Aku yang menerima perlakuannya seakan aku adalah korban olehnya. Begini engkau memandang sikap-sikapku selama ini. Sehingga aku menjalani hari-hari dan tidak menikmatinya. Aku suka mengomel. Aku yang engkau lihat berkata-kata dengan nada tinggi, sedangkan menurutmu jangan begitu. Aku yang hari ini tidak dapat menjalani waktuku sebagaimana biasanya. Maka menjadilah aku. Aku yang mudah meluahkan segala yang ingin ku sampaikan menjadi suara. Sedangkan engkau tidak. Engkau memilih mengintrospeksi diri terlebih dahulu, sebelum bereaksi dan menelurkan uneg-uneg dengan suara.

Menurutmu, tenang-tenangkan diri, ini lebih baik. Makanya, menjadilah aku sebentar saja, bagaimana engkau menerima perlakuannya? Apakah engkau juga bersikap sama? Melihat diri sebagai korban atas perlakuan seseorang padaku. Sebagaimana engkau menilai sikapku? Atau engkau sudah bebas dan merdeka semerdekanya menyikapi perlakuan sesiapapun padamu dengan sikap terbaikmu?

Hai, sekali lagi. Menjadilah aku sebentar saja, dengan segala kesibukkanku. Hayatilah benar-benar, bagaimana isi pikiranku. Pelajarilah sangat teliti bagaimana perasaanku. Dalam satu waktu, ku memikirkan keluargaku di rumah, memikirkan anak-anakku, memikirkan adik-adikku, memikirkan kakak-kakakku, memikirkan keluarga suamiku, mertuaku, adik-adik iparku, kakak-kakak iparku, teman-temanku, memikirkan orangtuaku, memikirkan suamiku, memikirkan orang-orang yang berinteraksi langsung denganku, dalam hariku. Aku, memikirkan juga bagaimana keberlangsungan usahaku, kondisi pelangganku, apakah mereka senang dan puas dengan pelayananku pada mereka, sehingga mereka kembali lagi, dan menjadi pelanggan tetapku.

Semua memenuhi pikiranku. Sehingga mempengaruhi sikapku, ucapku dan ekspresiku di hadapanmu. Aku yang memang sangat jarang tersenyum, tidak sepertimu. Engkau yang terlihat happy-happy aja dengan waktumu. Sekalipun aku tidak tahu, bagaimana kondisi sesungguhnya di dalam dirimu. Apa yang terjadi di sana. Tidak. Aku tidak mengetahui sama sekali.

Namun, saat engkau menjadi aku sebentar saja, bagaimana engkau menjalaninya? Engkau yang menjalani waktu-waktumu sebagai aku, seperti ini? Adakah engkau masih berpikiran sama seperti sebelumnya, tentangku? Dapatkah engkau mengulur sedikit kepentinganmu pada pikiranmu sendiri? Lalu menimbang juga perasaan dan pemikiranku, atas segala yang ku hadapi.

Bagaimana? Sanggupkah engkau menjadi aku? Walau sebentar saja? Sedangkan aku, sepanjang hidupku menjadi diriku.

***

Sampai di sini, belum selesai. Karena masih ada lagi.

Menjadilah aku sebentar saja.

Aku masih ingin engkau menjadi aku, dalam kondisi seperti ini. Engkau sedang duduk sendiri. Menjalankan aktivitasmu, dengan sebaik-baiknya. Tetiba, dari kejauhan datang seseorang yang tidak asing bagimu.

Seseorang membawa wajah cerah bertabur senyuman. Senyuman yang mengenalkanmu padanya, lebih mudah. Wajah yang ramah, damai dan lembut. Wajah yang segera mengajakmu melakukan hal sama, lalu menyapa. Engkau tetiba ingat namanya. Karena sebelumnya engkau pernah bersama dengannya. Nama yang tidak engkau duga, demikian cepat mengalir melalui bibirmu.

Engkau menyambut kedatangannya dengan wajah serupa. Sebagaimana wajah yang semakin dekat denganmu. Engkau membersamainya dalam waktu-waktu berikutnya. Wajah yang membagikan padamu, tujuan kedatangannya ke sini untuk mengajakmu tersenyum bersamanya. Wajah yang hadir sebagai bagian dari harimu, ternyata.

Walau engkau tidak memintanya, sepertiku memintamu untuk menjadi diriku sebentar saja. Namun, wajah itu hadir, menambah inspirasi bagimu. Untuk memenuhi permintaanmu. Agar sesiapapun mau menjadi aku sebentar saja. Seperti yang telah engkau baca.

***

Semua ini ku rangkai, untuk mendata diri lagi, sejauh apa ku mampu berempati, bertoleransi, bersinergi dengan semesta, menjemput impian agar menjadi nyata. Karena, segala yang ku berikan padanya, akan kembali padaku, meski dalam waktu lama. Walaupun tidak saat itu juga, namun segera. Pada waktu yang tepat, bahkan setelah ku tidak ingat lagi.

Semua, membuatku mau mensenyuminya, meski setelah semua berlalu. Semua, membuatku mau meneruskan perjalanan hidup ini. Walau ku tidak tahu. Sedetik berikutnya, seperti apa skenario-Nya untukku jalani. Makanya, mendekatkan hati, kepada-Nya, ku upaya lagi. Terkadang memaksakan diri. Atau ku cari-cari yang masih kurang.

Apa yang kurang, yaa. Mengapa kondisiku begini? Adakah yang terlupa dan semestinya ku ingati? Saat ku tidak sepenuh hati menjalani waktu? Dan jawabannya adalah, karena ku belum merangkai senyuman, untukmu teman.

Senyuman yang ku rangkai tentang perjalanan, pergi dan kembali ke perantauan. Begini ku merangkumnya sebagai pengingat terhadap orang-orang yang ku temui di dalam perjalanan. Termasuk pesan dan kesan yang ku baca, dari keadaan. 

Kesimpulannya dari, menjadilah aku sebentar saja : “Supaya kita dapat memperlakukan orang lain, sebagaimana kita ingin orang lain memperlakukan kita. Turut merasakan bahagia yang orang lain alami, begitu pun sebaliknya. Apalagi terhadap teman sendiri atau yang sehari-hari membersamai kita. Termasuk diri sendiri. 

Apakah kita dapat mengenalinya lebih baik? Lalu menyampaikan pinta padanya, “Jadilah aku sebentar saja. Sebelum ia mudah berubah dan kita tidak mudah mengenalinya lagi.”[]

🙂 🙂 🙂

5 Comments Add yours

  1. widiam25 says:

    Judulnya kayak lagu Judika “Jadi Aku sebentar saja” 😀

    Like

    1. My Surya says:

      Iyak, aku juga ingat lagu ini pas nulisnya, Mba Widia 😀

      Like

      1. widiam25 says:

        Saya baca judulnya, malah jadi nyanyi 😀

        Liked by 1 person

        1. My Surya says:

          😀 Hehee.

          Like

  2. Just Kidding says:

    Aku menjadi dirimu selama-nya, bagaimana? 😀

    Liked by 1 person

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ”... (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S Ar-Ra’d [13] : 28)