Wisata Ruhani

on
Bening
Bening

Reportase pun tercipta. Atas kejutan semalam yang sangat luar biasa. Sungguh pesan itu tersimpan dari balik tabir-tabir yang penuh dengan rahasia. Pesan yang kita tidak akan pernah membacanya, kalau kita tidak mengalami pertemuan dengannya. Wahai, bagaimana kabarmu hari ini, sahabat terbaik? Adakah CINTAmu sedang melayang di antara gemerlapnya dunia yang fana? Ataukah engkau telah membawanya pergi nun jauh ke masa depan yang pasti?

“Menatap masa depan dengan jelas”, inilah salah satu kalimat yang saya ingat hingga saat ini. Kalimat yang terdiri dari lima kata, sedang melebarkan sayapnya mengangkasa ke langit jiwa. Gemuruhnya tidak lagi dapat terungkapkan dengan susunan kata-kata. Namun demikian, lima buah jari yang sedang melangkahkan kaki-kakinya, terus saja berupaya untuk mengalirkan makna dari kehadirannya.

Jempol tangan: hampir semua kita mempunyainya. Walaupun memang, ada beberapa dari kita yang tiada sempurna dalam hal jempol. Begitu pula dengan kelebihan yang terdapat pada jempol dari sebagian kita, pasti ada maknanya. Sungguh, Allah tidak pernah menciptakan apapun itu, dengan sia-sia. Yakinlah, akan segala pesan yang tertera nyata di alam-Nya. Pesan tersirat dari beraneka benda yang kita lihat. Termasuk jempol tangan yang sedang kita bawa kemanapun kita melangkah. Dalam training semalam yang berlangsung dengan penuh kesan, jempol tangan ini adalah potensi dalam kehidupan kita. Ya, semua kita mempunyai potensi. Walaupun potensi itu terlihat dan ada yang tidak terlihat dengan  jelas. Tergantung pada bagaimana kita dalam mengoptimalkan perannya.

Lalu, jari telunjuk. Telunjuk adalah motivasi = power; kekuatan. Ketika ada guru yang menanya kepada kita para murid beliau, dalam proses belajar mengajar. Maka kita pun mengacungkan jari telunjuk untuk memberitahu beliau bahwa kita mengetahui jawaban dari apa yang guru tanyakan. Dengan penuh motivasi, kita menyampaikan kemauan kita untuk memberaikan dengan rinci, atas tanya yang guru ungkapkan sebelumnya. Dengan mengacungkan telunjuk, kita sedang menunjukkan motivasi yang berlimpah. Kita bersemangat untuk menjawab.

Sedangkan jari berikutnya yang kita punyai adalah jari tengah. Ia yang mempunyai posisi pada bagian tengah, terletak diantara dua jari lainnya di kiri. Dan dua jemari lainnya di bagian kanan. Jari tengah, berperan sebagai penyeimbang. Penyeimbang yang mengontrol, agar jemari kita dapat melambai dengan indahnya, saat ia terangkat ke atas. Saat kita menggerakkannya untuk menyampaikan pesan pada sesiapapun di sana. Untuk menyambut uluran tangan dari siapapun yang sedang menyalami kita. Ya, agar kita dapat melakukan semua hal dengan seimbang, maka jari tengah ada. Ia ada karena ia bermakna.

Masing-masing jari, mempunyai arti yang berbeda. Namun, mereka ada untuk saling menguatkan satu sama lainnya. Bagaimana pula dengan jari manis yang seringkali kita titipkan benda berharga? Ai! Ia ada untuk memberikan kemanfaatan. Jari manis tercipta karena ia bermanfaat. Ya, manfaatnya sebagai tempat untuk menitipkan sebuah cincin yang melingkar, perlu ia jaga. Karena ia perlu mempertanggungjawabkan titipan yang sedang melekat padanya.

Sebagaimana dengan jari-jari yang lainnya, kelingking kita juga mempunyai makna atas keberadaannya. Kelingking yang bertubuh paling kecil dari semua, tidak merasa kecil atas perawakannya. Ia laksana apa yang ditugaskan padanya, dengan sempurna. Lalu, apakah makna jari kelingking dalam kehidupanmu, teman?

Apakah karena dirinya yang kecil dan lebih pendek dari yang lainnya, terus kita meninggalkannya. Apakah karena ia terletak pada bagian paling pinggir, sebelah tepi dan jauh di ujung jempol, maka mereka tidak berkenalan?

Hai, sesama jemari, tentu mereka sangat tahu bagaimana indahnya kekeluargaan. Dengan penuh kebersamaan, jemari sedang melanjutkan langkah perjuangan. Mereka sedang berlarian, dari satu tuts ke tuts-tuts yang lainnya. Wahai teman, pada pagi hari ini, para jemariku sedang merangkai senyuman. Ai! Senyuman penuh dengan pesan, senyumannya yang tidak kelihatan dalam tatap matamu yang nyata sekalipun, namun sebenarnya ia ada. Senyuman yang tercipta karena engkau bahagia dapat berkenalan dengan rangkaian kalimat yang sedang ia cipta.  Ia tersenyum padamu, teman…

Setelah memberaikan tentang makna jemari yang sungguh menawan, maka perjalanan pun berlanjut. Perjalanan yang bukan perjalanan biasa, ternyata. Saya, bersama Siti my Neighbour, seakan tidak percaya dengan apa yang kami alami. Karena pada saat itu, kami telah berada di antara kerumunan umat yang sedang berkumpul di sebuah ruangan. Bale Asri Pusdai, Jawa Barat. Wah! Benar-benar pengalaman yang sungguh menyenangkan, kiranya. Ketika niat kita ke Pusdai hanya untuk berjumpa dengan ukhti. Dalam pikir, kita akan bertiga saja, duduk berdampingan. Namun, tidak lah kenyataan, sebagaimana yang kita bayangkan. Yah, bahkan kelipatannya menjadi ribuan. Begini informasi yang sempat kami dengarkan.

“Benarkah? Lebih dari tiga ribuan peserta sedang berkumpul semalam? Subhanallah…,” bagaikan mimpi yang masih setengah perjalanan. Kita tiba-tiba terbangun. Lalu, perlu melangkah lagi, untuk dapat sampai ke tujuan. Tinggalkan masa lalu, mari kita lanjutkan perjalanan. Wisata malam yang mengesankan.

Adapun aturan dalam berwisata adalah:

  1. Ikhlaskan hati, nikmati perjalanan
  2. Matikan alat komunikasi duniawi dan aktifkan alat komunikasi ukhrawi.
  3. …. ?

Sampai di sini, catatan pun terhenti. Karena, saya yang semulanya mencatat materi pada notepad bercahaya di hape, kini tidak dapat melanjutkannya. Ya, karena beberapa saat setelah aturan yang ke dua disampaikan, sang hape sudah kembali ke alamnya. Ia sedang beristirahat untuk beberapa lama. Selamat tinggal alat komunikasi duniawi yang sangat baik hati. Walaupun beberapa saja di antara kalimat-kalimat penuh kenangan tersebut yang terabadikan, semoga ia dapat bermanfaat. Sehingga menjadi salah satu bahan untuk kita jadikan jalan pengingat satu sama lain.

Dalam pertemuan tersebut, awalnya saya dan Siti my neighbour bersebelahan dengan teman kami yang baru. Teh Keni; Jatinangor.  Begini nama beliau yang saya tuliskan pada layar handphone, beberapa saat setelah kami berkenalan dan barteran angka koneksi. Setelah akhirnya, kami terpisah hingga saat ini. Karena tiba-tiba lampu dipadamkan. Gelapp… sungguh mencekam. Teh Keni hilang dari tatapan.

“Teh Keniiiiiiii,….. 😀 semoga kita dapat berjumpa lagi, yaa,” sapa jiwa yang kehilangan sahabat barunya. Ia masih ingin bercakap dengan beliau. Namun, tidaklah selalu, apa yang kita inginkan merupakan kehendak-Nya.

“Cukup! Perkenalannya sekian saja, yaa.  Karena Aku mempunyai rencana yang lebih mengesankan untukmu, pada masa yang akan datang,” begini pesan tersirat yang dapat saya tangkap dari kejadian tersebut.

Pesan yang segera mengalir dari pikiran, ia menelusuri sungai kerinduan. Hingga meneteslah airmata ketika ingatan menderaskan banjirnya. Pelupuknya tidak lagi sanggup untuk menampung luapan titik-titik bening permata kehidupan yang menumpah. Ia ingin keluar semuanya. Ia tidak mau lagi bersemayam pada pinggiran bola-bola mata ini. Akhirnyaaa, deru suara kehidupan yang sesungguhnya, meriuhkan sunyi dalam kelam. Banyak orang menangis saat itu. Ada yang sampai menggugu, tersedu, dan tersedu, tersedu, dan tersedu. Ada yang memanggil,  “Ibbbuuuuuuu…… huhuuuu…. Pilu hatiku mengingatkan semua. Sungguh terharu.

***

Kami sangat yakin, ada kekuatan yang menggerakkan kami untuk melangkah menuju Pusdai. Pada malam Jum’at yang bergerimis. Dingin di luar. Sebelum akhirnya, kami berbaur dengan suasana yang dingin tersebut. Kami melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati. Karena, kalau tidak demikian, maka basahlah kaki-kaki dan pakaian ini. Kami tidak ingin kedinginan pada malam harinya. So, dengan langkah-langkah yang teliti, satu-satu, kaki-kaki ini menjejak bumi.

Satu, dua, satu, dua… hitungan yang tidak kami ucapkan. Namun, sesungguhnya angka-angka tersebut sedang berulang. Karena kami melangkah dengan kedua kaki-kaki ini. Alhamdulillah, tidak sampai sepuluh menit, kami telah berada pada tujuan.

Kami terkaget-kaget, saat akan memasuki pintu masjid Pusdai, ternyata telah ada panitia yang berdiri. Beliau menyapa kami dengan ramahnya.  “Mau ikutan mabit, Teh?,”  sapa si Teteh berjilbab krem dengan sopannya. Kami tidak berkenalan. Kami hanya bersenyuman. Beliau menyerahkan dua lembar tiket kepada kami.

“Tiket… ?????.”

Siti, hihiii..  Saya dan Siti pun berpandangan. Kami terima uluran tangan Teteh Panitia dengan senang hati. Lembaran kertas putih yang telah berisi baris-baris tentang data-data untuk kami isi, kini berpindah ke atas jemari kami yang lima. Satu buat Siti, dan satunya lagi buat saya.

“Silakan, Teh, mabitnya di Bale Asri. Dari sini, lurus. Terus, di ujung jalan ada panitia. Nanti, belok kiri, dan lurus lagi, terus belok kanan. Nanti sampai di Bale Asri,” lembut suara yang mengalir, membuat kami segera mensenyumi Teteh Panitia. Kami kembali bersenyuman. Masih belum mengerti. Kami menjalani semua ini dengan pikiran yang terus menanyai. Ada apa di ujung sana?

Tanpa banyak membuang waktu, percuma. Akhirnya kami pamitan, setelah tidak lupa berterima kasih pada kebaikan beliau baru saja. Padahal, kami belum pernah bersapa, bersama dan berjumpa sebelumnya. Namun, ketika sambutan  seperti demikian yang kami alami, terharu, dong yaa. Indahnya kehidupan dengan senyuman.

Langkah demi langkah, terus kami langkahkan. Satu, dua, satu, dua, satu, dua, terus saja begitu. Kami (saya dan Siti) bergenggaman tangan, mempereratnya, memperdekat jarak. Karena, begitu ramainya insan di sekitaran. Sedangkan saat itu adalah  malam. Meskipun tidak temaram, memang.

Setelah menghubungi ukhti untuk kesekian kalinya, karena sebelumnya kami janjian untuk ketemuan di lokasi, belum lagi ada jawaban. Beliau menghilang dari peradaban. Komunikasi kami terhalang oleh takdir, kah? Engga ada yang terjadi sia-sia tanpa hikmah.

“Ukhti, semoga engkau baik-baik saja, ya Nduk,” bisik jiwa yang merindu pertemuan.

Detik ke menit terus melaju. Jam demi jam pun berganti. Hingga rangkaian acara, satu persatu tertanggalkan. Kami pun kembali berpencar. Lebih beberapa menit dari pukul dua belas malam, perjalanan pun berlanjut. Kembali ke asal, awal kami datang. Semua menuju pintu utama masjid, untuk berehat raga, bagi yang berkeinginan. Adapun bagi yang ingin meneruskan perjuangan lebih dahulu, juga dipersilakan.  Karena setiap kita mempunyai pilihan. Pilihan untuk kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah, kelak. Pilihan yang kita ambil saat ini, merupakan salah satu jalan yang dapat memberikan jawaban, atas tanya yang Allah ajukan. “Buat apa kita memanfaatkan setiap Pemberian-Nya? Untuk kita.”

“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.  Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.  Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Q.S Ibrahim [14]: 32-34)

Istighfar perlu terlantun dalam setiap gerak gerik yang kita dayakan. Bagi sesiapa saja yang menyadari akan keberadaan diri hingga saat ini. Perjalanan yang telah kita jalani seumur usia di dunia ini, buat apa kita gunakan? Berbagai kesempatan terbaik kita lewatkan tanpa kita sadari sebelumnya. Berbagai jenis warna kehidupan kita temui, lalu bagaimana cara pandang yang kita berikan terhadapnya? Apakah kita langsung memberikan penilaian padanya tanpa sempat memikirkan terlebih dahulu, tentang banyak hikmah yang dapat kita petik di setiap warna yang kita tatap.

Hai, berpikir terlalu lama, hanya membuat kita tidak dapat mensegerakan perbuatan. Bergeraklah, bergerak untuk membuktikan bahwa kita berpikir. Berpikirlah untuk membuktikan bahwa kita mencintai Allah. Cinta yang indah, cinta yang sejati, cinta yang tiada tertandingi. Cinta yang menggerakkan. Cinta yang walaupun hanya susunan huruf yang membentuk kata, tidak dapat kita lihat dengan mata yang nyata.  Iya, cinta yang selamanya tidak akan pernah ada, kalau kita  tidak berbuat yang dapat menjadikan terwujudnya cinta. Karena cinta itu ada. Lalu, sudahkah kita menemukan cinta?

“Kutemukan Cinta – Cara Indah menciNTai ALLAH”, inilah tema mabit malam tadi. Malam yang penuh dengan melodi. Melodi rindu yang mengalun dengan syahdu dari nada-nada pita suara yang menyeru pada Allah. Masih terasa mimpi, semua terjadi. Tanpa terduga, belum terpikirkan sebelumnya. Namun, ia ada dan kita menjalaninya. Lalu, bagaimana pula halnya dengan apa-apa yang sempat dan pernah kita pikirkan? Bukankah ia dapat pula menjadi nyata? Wahai, apalagi yang lebih sering kita pikirkan. Semoga dapat menjadi nyata, dengan keyakinan yang kita bina.

Membayangkan semua yang indah-indah pada masa depan, kita tentu bisa. Apalagi tentang masa depan yang lebih jelas. Lalu, masa depanmu kapan, teman?

Ketika hari-hari yang kita jalani bertaburan dengan bayangan demi bayangan yang kita ciptakan di ruang pikiran, lalu kapan kita dapat menikmati kenyataan yang sedang berada di hadapan? Bagaimana halnya dengan kondisi yang seringkali kita jalani? Kondisi yang terkadang sangat berbeda dengan apa yang pernah kita bayangkan. Apakah kita masih belum mempercayai akan keberadaan-Nya bersama kita? Allah Yang Mencintai kita, bersibuk-sibuk menyediakan banyak kebutuhan kita. Namun, bagaimana kita memberikan waktu untuk-Nya? Apa yang seringkali kita ingat, saat kita memulai aktivitas? Bagaimana kita menjalani aktivitas dari detik ke detiknya? Yakinkah kita mampu dengan sendirinya?

Di antara beberapa waktu perjalanan yang telah berlangsung tadi malam, tiba-tiba saya merasakan ada aura yang berbeda dari biasanya. Sejenis kelimpungan yang memabukkan. Ai!  Hampir saja tubuh ini rubuh dengan sendirinya. Kalau ia masih memaksakan diri untuk terus tegak, berjalan, melangkah bersama-sama dengan yang lainnya, entah hal apa yang akan terjadi. Ia hanya inginkan ketenangan.

Tidak mengapa, untuk beberapa jenak, kita merentang jarak dari para pejalan yang lain. Kalau memang itu yang terbaik, why not? Dari pada kita paksakan berjalan, namun dengan kondisi yang tanpa keseimbangan. Adalah baik kiranya kita hadirkan kesadaran terlebih dahulu, kemudian baru melanjutkan perjalanan. Iya, kannnn….? He.

🙂 🙂 🙂

One Comment Add yours

  1. alhamdulillah reportase yang indah… sangat bermanfaat untuk panitia penyelenggara… syukron

    😀 Alhamdulillah… terima kasih atas banyak ilmu dan pengalamannya ya Bapak Rahmat Puryodo dan rekan MDA 🙂 ,..
    ~Selamat melanjutkan wisata…
    Salam Bahagia~

    Like

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ”... (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S Ar-Ra’d [13] : 28)