Ayah

on
Alami
Alami

 

Dekat…

Lekat…

Hingga engkau larut bersamanya, tanpa sekat…

 

Erat…

Terpikat…

Nekat…?

 

Dengan niat yang kuat…

Engkau pun melompat!

Hebat…!

 

“Ayah banget!,” bisikku.

 

***

 

Ayah… Saat ini, saya sangat merindukan beliau.

Ayah… Segera pikirku merangkak menapak tanah hingga ke seberang pulau.

Ayah… Bibirpun tersenyum memukau.

Ayah… Ingatan yang hadir, pertanda beliau sedang memantau.

Wahai… bagaimana kabar anakku di rantau?

 

***

 

Ayah… Setangkai catatan yang saat ini sedang saya rangkai adalah tentang beliau. Seorang laki-laki yang memang sudah tidak muda lagi. Seorang yang memang sangat jarang menghiasi catatan perjalananku. Namun, sekali menyusun kata tentang beliau, maka banjir airmata akan terjadi di sekitarku. Sebelum tubuh ringan ini benar-benar tenggelam dalam lautan rasa, ia terus berusaha menggapai ketinggian. Menggerakkan kedua tangan yang mulai lemah tanpa daya. Menyuarakan nada yang mengalir dari dasar jiwa. Walaupun semua itu sia-sia, ia terus mencoba mengeluarkan suara semampunya. Agar, pertolongan segera datang. Siapakah relawan yang sedang mengayunkan langkah menuju padanya? Apakah ia terselamatkan? Ataukah…

Ayah… Butiran nasihat yang beliau sampaikan, memang tidak banyak. Malah, sangat jarang. Namun, ketika sekali waktu beliau memberikan nasihat pada kami, maka abadilah ia selama-lamanya. Tanpa suara yang beliau sampaikan, kami mengerti apa yang Ayah mau. Walaupun gerakan yang beliau perlihatkan tidak dapat kami lihat dengan jelas, untuk saat ini, namun ada sebuah ruang yang memberikan kami kesempatan untuk berkangenan ria. Kapanpun kami mau, maka kamipun memasukinya. Ialah ruang hati. Hati yang selama ini mendamba, sosok sebijaksana Ayah. Hati yang mengimpikan keteduhan dan kesejukan yang sedang mendekatinya. Hati yang memperhatikan, bagaimana seorang Ayah menunjukkan kasih dan sayangnya pada siapa saja yang beliau sayangi. Hati yang semua orang juga memilikinya. Engkaukah?

Ayah… Pribadi yang menampilkan kesegaran, bersama wajah yang berseri-seri. Ai! Ada sebuah suara yang menanyai, “Bagaimana Ayah menjalani masa-masa yang penuh dengan uji?.” Ketika kami masih belum bersama-sama dengan beliau. Saat semua yang kami lakukan saat ini belum terjadi. Bahkan, diri ini entah sedang berada di mana. Wahai, ketika kami mengingatinya, belum sampai kiranya pada tujuan yang sesungguhnya. Karena Ayah yang mengalami. Hanya saja, sangat ingin kami menanyai beliau, tentang hal ini.

Ayah… Ku minum dulu beberapa teguk air. Sebelum melanjutkan catatan tentang beliau. Ya, semoga dapat mengganti tetes bulir-bulir bening yang mulai berjatuhan. Agar, kami tidak dehidrasi. Supaya kami masih mampu menggerakkan jemari ini, meski pelan… Ia melemah tanpa daya. Ya, entah ke mana energinya mengalir. Apakah ia membantu kedua kelopak mata yang sedang mengalirkan cairan bening yang hangat pada kedua bola mata ini? Ataukah ia sedang menjadi pemandu sorak pada jiwa yang sedang bertarung melawan rasa yang menerjangnya? Atau, energi tersebut sedang mengendalikan arah pikir agar mengalihkan butiran permata kehidupan yang semakin rame alirannya, ke lautan jiwa? Agar tidak tumpah semuanya.

Ayah… Terasa kesegaran mengaliri tenggorokan ini, setelah kedua tangan kami meraih sebuah botol berwarna orange yang berisi air putih. Lalu, ia memutar penutup botol, dan menuangkannya beberapa kali ke dalam sebuah gelas. Kemudian, ia segera memandunya untuk menemui bibir yang masih basah oleh airmata. Dengan meminum air, maka kita menjadi lebih segar lagi. Setelah sebelumnya jemari ini melemah, dan tidak berdaya setelah menangis. Ia kehausan. Percaya dech, dengan menangis, maka kita akan menjadi haus. Apalagi kalau nangisnya kelamaan. Jadi, minumnya harus banyak.  Sebagai pengganti airmata yang terbuang percuma. Wah! So, what do you think? “Masih mau nangis lagi?,” sebuah suara tiba-tiba hadir dan menanyaiku. Aku kaget, dong... Suara yang hadir tanpa diundang. Ia menyapa dan kemudian menghilang, ketika ia tahu bahwa aku sudah kembali tenang.

Ayah… Mudah saja, cara untuk menghentikan tangis yang sedang menguasaiku. Cukup dengan menuliskan beberapa baris kalimat tentang apa yang aku alami, lalu membacanya lagi. Maka, segera ku tersipu dan kemudian meraba pipi yang ternyata sudah lembab. Pipi yang tidak memerah, memang. Namun, kedua peneropong arah yang mulai tidak dapat berfungsi optimal untuk sementara. Ia buram. Kalau mau melanjutkan merangkai kalimat dengan kondisi yang sama, alhasil… beginilah jadinya. Mari kita sudahi untuk sementara waktu, acara menangisnya. Yuuukkzszs. Karena kehadiran kita pada halaman ini adalah untuk merangkai senyuman. Boleh menangis, sebagai penghias suasana, sebagai penggerak jiwa, memberikannya aba-aba agar ia segera terjaga. Tapi, kalaupun aku mau menangis lagi, “Engga apa-apa ya, Yah…”

Ayah… Walaupun Ayah belum akan membaca untaian kalimat yang tercipta khusus untuk beliau dalam diari Edisi Jum’at/10 Februari 2012 ini, namun saya yakin, semua ini sampai pada beliau di sana. Karena saya yakin sangat akan hal ini.  Segera, suara jiwa yang sedang mengingat beliau dengan sepenuh rasa, menjadi jalan sampaikan bait-bait ini ke kampung halaman di mana Ayah berada kini. Semoga, beliau tersenyum semenjak saat ini. Karena, saya sedang merangkai kalimat-kalimat yang saat ini sedang tercipta, bersama senyuman. Meskipun sebelumnya terlarut dalam lautan rasa, namun saat kita menyadari bahwa kita masih mempunyai raga, maka kita dapat segera keluar dari dalam lautan tersebut. Walaupun telah basah ia dan kuyup. Kan kita bisa mengelapnya dengan handuk bernama senyuman. Wa… sekarang sudah lebih ringan. Setelah bening-bening yang tadi membanjirinya, mulai menguap. Sehingga yang tersisa hanya ingatan saja. Bahwa baru saja, ia menangis bersama.  Kedua bola mata yang tadi berkaca-kaca, sekarang sedang berbinar. Ia menjadi semakin cerah dan terang benderang.

Keesokan  harinya, pagi…

Ayah… Jelas sekali wajah beliau di pelupuk mataku kini. Wajah yang sedang berhiaskan senyuman itu, menyiratkan kelegaan dan kebahagiaan. Keteduhan tatap mata yang seringkali ku pandangi setiapkali kita bertemu, sungguh menyejukkan. Dari dalam kedua samudera nan bening itu, saya dapat mengetahui, bahwa beliau sedang mengungkapkan apa yang sedang beliau alami. Pancaran sinar yang menembus hingga ke relung hati ini, menyisakan keharuan hingga kini. Ayah bisa!

Ayah… Tiada lagi tempat yang dapat beliau singgahi untuk menitipkan titik-titik harapan yang sedang beliau kantongi. Pada buah hati tercinta, beliau menyimpan segala yang beliau miliki. Ada banyak cita dan asa yang sedang mengusahakan diri untuk lebih dahulu menunjukkan diri. Ya, melalui kedua peneropong arah yang membantu beliau untuk menikmati indahnya pemandangan alam-Nya, kami mengetahui bahwa beliau menyimpan hal-hal yang berharga. Harga yang tidak dapat kami nilai dengan angka-angka. Hanya kami perlu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, semoga menjadi jalan untuk menghargai semua yang beliau titipkan. Termasuk kepercayaan dan kerelaan untuk berjauhan raga dengan kami. Padahal Ayah, sangat memerlukan kehadiran kami lebih sering. Pada usia beliau yang sudah lanjut, masih tersisa satu harapan untuk kami. Harapan yang menjadi jalan tersenyumnya Ayah lebih indah lagi,  pada masa-masa yang berikutnya.

Ayah… “Sangat perlu kesabaran dan keteguhan hati untuk menemui apa yang kita impikan. Yakinlah Nak… Engkau mampu,”  (terbayang olehku, ketika pertama kali kita akan berbatasan untuk jarak yang tidak lagi memerlukan waktu se-jam dalam menempuhnya, ketika itu Ayah menangis). Sebuah ingatan yang mengalir dengan derasnya. Sederas tetesan bening yang mulai membanjir pada kedua pipi beliau yang cemerlang. Wajah Ayah nan bersih, sungguh mampu mengagumkanku setiapkali memandang beliau. Ada daya tarik tersendiri yang membuat mata ini ingin berlama-lama menikmati layar yang pada waktu itu  mempertunjukkan kesenduan. Karena kami akan berjarak raga, lebih jauh lagi. Ayah mulai berjalan ke arah yang lain, beliau tidak memperlihatkan apa yang sedang terjadi. Beliau sungguh mengesankan. Bahkan ketika menangis, tidak ingin kami tahu. Tolong maafkan kami, Ayah… yang membuat Ayah menangis.

Ayah… Dalam perjalanan yang sedang kami tempuh, pada awal kita berjarak raga sangat jauh untuk pertama kalinya, sering terbersit ingatan pada tatapan mata yang sangat damai. Tatapan itu adalah milik Ayah, yang walau bagaimanapun sikap kami, maka Ayah seringkali memaafkan. Ayah sangat pemaaf. Bahkan Ayah merelakan hak yang semestinya Ayah miliki, pergi.

“Bukan materi yang menjadi sumber bahagia, namun ia adalah jalan sahaja. Bukankah rezeki kita Ada Yang Mengatur?. Ayah tidak apa-apa, Nak. Ayah serahkan kepada Yang Maha Menguasai,” pelan namun jelas, Ayah menyampaikan suara jiwa. Ketika pada satu kesempatan terbaik, kami duduk-duduk di teras rumah, berdua. Dekat, sangat akrab. Ai! Ayah… pada waktunya nanti, saya sangat ingin menemani Ayah untuk memperbincangkan topik yang sama, lagi. Adakah kita masih memiliki kesempatan yang serupa, Ayah…? Walau banyak orang bilang, kesempatan tidak akan pernah datang untuk ke-dua kalinya. Namun, kesempatan pertama yang telah kita jalani menjadi bukti bahwa semua itu adalah benar. So, kesempatan itu masih ada. Walaupun bukan untuk yang pertama. Karena kita sudah mengalami kesempatan yang pertamanya bersama-sama.

Ayah…Bukan warisan harta yang beliau serahkan pada kami. Bukan pula rumah megah nan mewah untuk kami tinggali. Apalagi kendaraan yang mengkilat untuk kami tumpangi dalam meneruskan perjalanan ini. Tidak! Karena Ayah tidak memiliki semua itu.

“Hanya Ayah pesankan satu hal, Nak…. Tolong jaga Aqidah jangan sampai berubah. Karena engkau hidup di zaman yang serba mudah. Apapun alasannya, hanya satu pesan Ayah. Tolong yaa,” Ayah menekankan nada bicara beliau. Dalam kesempatan kita bercakap-cakap via seluler. Setelah akhirnya, raga kami benar-benar berjarak sangat jauh. Namun engkau selalu di hati, Ayah. Aku hanya mengangguk. Anggukan yang Ayah pasti tidak melihat. Karena kami bertemu hanya dalam nada-nada suara yang mengalir sangat indah. Merdu suaraku, lembut suara Ayah. Ai! Tema berikutnya yang kami bahas adalah tentang keindahan-keindahan yang masih ada dalam impian.

“Semoga Ayah juga dapat sampai ke Mekkah,” ini adalah harapan lain yang pernah beliau sampaikan. Dengan nada suara yang menyiratkan kebahagiaan. Menerawang masa depan, menguntai keinginan. Semoga ia segera menjadi kebutuhan. Karena, apa yang kita butuhkan pasti terjadi dalam masa yang sama. Dekat.  Kami meng-amin-kan dengan serentak.

“Aamiiin… Ya Rabbal’aalamiin,” Ayah tersenyum di sana, saya berbunga-bunga bahagia di sini. Tiada tempat kita mengharap, mengadu dan menitipkan cita dan asa. Ya Allah Yang Maha Mendengar, Melihat dan Menyaksikan apa yang kami lakukan. Semoga senyuman Ayah menjadi lebih indah lagi, ketika semua terjadi dalam kenyataan.  Kami berani bermimpi. Ayah dan juga aku adalah bagian dari keluarga yang meniatkan untuk dapat berangkat ke Tanah Suci. Ai!

“Bagaimana kabar unta-unta yang sedang berjalan di padang pasir, yaa?,” ku bertanya pada siapapun yang sedang bersamanya. Seraya menitipkan rindu dan salam dari kami buat alam di sana. “Tolong doakan kami juga yaa. Agar dapat pula menjejakkan langkah-langkah ringan ini, dengan sempurna, di atas hamparan padang pasir-Nya.”  Membayangkan saja, sudah meneteskan airmata. Namun kami bahagia dapat mengalaminya.

Ayah… Rangkaian keteladanan yang beliau rajut dari waktu ke waktu, teringat jelas saat ini. Ketika kami masih kecil dulu, kebersamaan dengan Ayah merupakan kebahagiaan yang tiada akan pernah terganti. Ketika Ayah membersamai kami dalam waktu belajar, salat berjamaah, bersantap menu ‘hari ini’, saat sarapan pagi. Wah! Semua kenangan yang kami alami, menjadi jalan tersenyumku kini. Ya, kami seringkali sarapan dengan kacang padi [baca; bubur kacang hijau]. Karena menu yang satu ini adalah menu kesukaan kami. Ayah suka, dan saya juga. Kami sehatiii. 😀 Dan saat ini, saya juga sedang menikmati anugerah berupa rezeki untuk sarapan pagi. Kacang padi yang menemani, terima kasih kasih yaa. Engkau juga berpartisipasi menjadi jalan tersenyumnya kami lebih indah lagi, saat merangkai catatan hari ini. Xixiixiiii… It’s yummy, I like it. Sesuap untuk saya, suapan yang berikutnya saya niatkan buat Ayah. Agar kita sama-sama menikmati kelezatannya yang tiada tara. So Sweet… Dengan tambahan selembar roti tawar yang akhirnya tenggelam di antara butiran ijo yang rameeeeeee sekali. Mari menikmatiiiiii… Dekat, lekat, erat dan akrab! 

“Saat-saat yang penuh dengan keakraban diantara anggota keluarga tercipta saat makan bersama. Ketika Ayah, Bunda, dan anak-anak menikmati menu yang tersedia dengan lahapnya,” begini inti dari sebuah kalimat yang pernah saya baca ketika sudah berada di perantauan. Ya, di sini, saya mempunyai banyak kesempatan untuk membaca lebih banyak buku dari hari ke hari. Kapanpun saya membutuhkan tambahan energi dan asupan gizi untuk pikiran yang suka sering pergi-pergi sendiri, maka toko-toko buku sudah tersedia. Dekat, erat, lekat!  Lalu, nikmat yang manakah lagi yang belum kita syukuri, wahai diriku sayang yang tersenyum cemerlang. Mentari pagi mensenyumiku dengan kebaikannya yang terus terangkai dari hari ke hari. Mengingat mentari yang sedang bersinar, saya kembali teringatkan; akan makna hadirnya.

Ayah… Bersama rangkaian doa yang beliau kirimkan setiap waktu, menjadi jalan yang menyelipkan ketenteraman pada hati dan jiwaku ini, kapan saja ia membutuhkan. Yach, seperti yang seringkali terjadi. Ketika ia bertemankan butiran permata kehidupan yang mampu memuaikannya, maka ingatan pada Ayah segera berfungsi sebagai jalan yang meluruhkan balok-balok dingin nan datang pada saat itu juga. Lalu, ia mencair perlahan. Beberapa saat setelah kedatangannya, suasana jiwa yang sedang memuaipun menjadi sejuk seketika. Memang ini terjadi tidak sekejap mata, namun ia berkala. Sesuai dengan ingatan yang terhadirkan.

Ayah… Walaupun saat ini kita belum lagi jumpa dalam tatapan mata seperti yang terjadi pada kesempatan pertama, namun harapan itu masih ada, kan ya, Ayah… Harapan yang seringkali menampakkan wujudnya melalui ingatan kita padanya. Harapan yang selamanya ada, selagi kita mau untuk menghadirkannya. Harapan yang ketika kita bersedia untuk menciptanya, maka ia dapat menjadi nyata.

“Sangat perlu kesabaran dan keteguhan hati untuk menemui apa yang kita impikan. Yakinlah Nak… Engkau mampu,” pesan Ayah yang kembali hadir dalam ingatanku. Terima kasih Ayah…

Wahai angin yang bertiup sepoi, engkau ada di sini. Pun ada di sana, bersama Ayah. Titip kesejukan di relung jiwa beliau, yaa… Semoga Ayah baik-baik saja.
🙂 🙂 🙂 For Ayah, specially... 🙂 🙂 🙂

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ”... (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S Ar-Ra’d [13] : 28)